“Lulus kuliah nanti mau kerja di mana mas?”. Bintang, adik tingkat satu kampus menyelidik ingin tahu rencana jenjang karir aku setelah wisuda nanti.
“Kerja ya bisa di mana saja.” Jawabku singkat.
“Hah?” Ia memastikan apa tidak salah dengar.
“Serius, kerja sekarang nggak harus ke pabrik atau datang ke kantor. Bahkan kita tetap bisa menambang cuan walau sambil rebahan, Tang.”
***
Siang itu, beberapa motor yang berbaris rapi sudah tampak berkurang satu per satu. Pemiliknya ada yang mau ke warung saat istirahat jam kuliah, ada juga yang selesai kuliah langsung pulang.
Halaman parkir motor mahasiswa terlihat lengang. Dengan suasana sekitar yang mendukung, rupanya pertanyaan singkat dari Bintang tadi bakalan menjadi pembahasan yang mengasyikkan.
Sebelum menjelaskan jawaban yang masih menggantung tadi, aku melanjutkan dengan bertanya balik kepada Bintang.
“Omong-omong, aku kok jarang lihat kamu di kampus ke mana aja, Tang. Ada kesibukan apa?”
“Iya mas, saya ada kerjaan di luar.” Ia membalas.
“Kerja di mana?” Aku bertanya lagi.
“Di sebuah ekspedisi pengiriman barang”.
“Jadi kurir, admin, atau staff kantor kah?”
“Nggak mas. Saya kerjanya di bagian sortir barang. Ketika ada paketan datang, saya bertugas untuk mengelompokkan barang sesuai alamatnya. Ya seperti kerja lepas gitu”.
“Enak kerjanya?”
“Kerjaannya sih enjoy mas, berangkatnya nggak setiap hari. Nggak terlalu capek juga, cuman ya itu jadwal kuliah saya jadi kocar-kacir. Banyak jam kuliah yang saya pakai buat kerja.”
“Kalau boleh tahu, sebulan dapat fee berapa?” Aku mulai bertanya tentang pendapatan.
“Nggak banyak sih mas, lha wong kerja lepas gitu aja. Kalau dihitung kisaran 600 ribu sebulan. Tapi ya lumayan lah segitu buat kantong mahasiswa”.
“Oh baguslah, apakah kamu menikmati pekerjaanmu?”.
“Ya begitulah mas!”
Ia meletakkan tangan pada dagu sambil menyandarkan tasnya di atas jok motor. Kemudian memburu pertanyaan awal tadi. Tak sabaran ingin tahu penjelasannya,
“Emang profesi apa mas yang nggak harus ke tempat kerja buat mahasiswa seperti saya ini?”
Aku menghela napas, memperbaiki posisi duduk di atas jok motor, dan berpikir sejenak untuk menyiapkan jawaban yang pas untuk Bintang.
***
Seharusnya ini akan mudah dimengerti. Sekarang kita berada di era Revolusi Industri 4.0, masa di mana dunia digital berkembang begitu pesat. Mulai dari teknologi informasi, otomasi industri, hingga perkembangan internet yang semakin hari semakin merajalela. Itu semua adalah lahan yang basah untuk mengeruk sumber daya di dalamnya.
Sebut saja internet, sehari-hari kita hampir tidak bisa terlepas olehnya. Bangun tidur, pertama kali yang kita buka, bukanlah pintu kamar lagi. Melainkan kunci telepon pintar kita. Lalu masih dalam pikiran bawah sadar, kita sekejap akan mengaktifkan data seluler, memeriksa notifikasi pesan instan.
Beberapa menit kemudian meluncur ke sekolah, kantor, atau tempat aktivitas lain. Ups, lagi-lagi kita harus terhubung ke internet untuk bisa berkomunikasi dengan teman atau rekan kerja di grup WhatsApp. Kalau lagi males, kita akan pesan ojek daring dan fast-food via aplikasi.
Kalau merasa jenuh, jemari kita akan menari-nari di atas layar tipis untuk memenuhi asupan dopamine di otak kita. Betul, sosial media adalah obat termanjur untuk mengatasi kegabutan dan mengusir kebosanan.
Intinya, hampir segala aspek kehidupan kita harus terhubung dengan internet. Ini adalah new normal. Dengan segudang manfaatnya, internet menjelma menjadi sesuatu yang wajib dimiliki orang-orang di zaman sekarang.
Namun, apakah internet tidak memiliki dampak buruk?
Jelas ada. Meskipun manfaatnya buaaanyak, internet tetaplah sebuah medium atau tools. Ia ibarat pisau bermata dua. Fungsi tergantung siapa yang memegangnya. Kalau yang memakai orang baik, internet akan menjadi manfaat untuk sesama. Kalau yang memakainya adalah orang baik yang tersakiti (read. jahat), ia akan menjadi malapetaka.
Seperti kata YouTuber terkenal.
"Berkah sekaligus kutukan itu bernama internet."
~Ferry Irwandi
***
Kita semua tahu kalau terlalu sering order junk-food via aplikasi itu tidak sehat. Berlama-lama gulir layar di Instagram, YouTube, dan TikTok juga tidak baik.
Intinya, semua aktivitas bersifat konsumtif yang dilakukan secara berlebihan akan menciptakan ketidakseimbangan.
Kalau kata Bang Ade Rai, "Bukan pilihan yang bijaksana."
Lalu bagaimana solusinya?
Kuncinya adalah menciptakan keseimbangan.
Kita boleh-boleh saja menggunakan layanan internet untuk sarana berkomunikasi, membantu kemudahan aktivitas sehari-hari atau sekadar menghibur diri. Tapi ingat, harus tahu batasannya.
"Manfaat internet akan semakin bertambah dan menjadi tak terbatas nilainya ketika kita tidak hanya menggunakan untuk hal yang bersifat konsumtif, tetapi juga menggunakannya untuk sesuatu yang bersifat produktif.
Misalnya; untuk menambah wawasan dan pengetahuan, memperluas jaringan pertemanan, hingga sebagai jalan rezeki: pintu berkah untuk mendulang rupiah.
Banyak sekali manfaat yang bisa kita dapat melalui internet. Hal itu pula yang mendorongku untuk menggunakannya secara bijak. Terutama, untuk kegiatan yang bersifat produktif.
Dan aku sudah membuktikannya. Ini akan menjadi benang merah untuk jawaban yang ditanyakan oleh Bintang.
Alih-alih menggunakan internet untuk konsumsi pribadi. Aku berkomitmen untuk memberikan sedikit pengetahuan yang kutahu kepada sesama. Yaitu dengan menjadi Freelancer di dunia digital.
Freelancer (pekerja lepas) adalah pekerjaan yang acapkali dipandang sebelah mata oleh banyak orang.
Padahal pekerjaan ini bisa juga menjanjikan.
Sejak 2018, aku sudah memulai dengan menjadi Content Writer di sebuah media online bertajuk "Engineering". Kebetulan aku mahasiswa Teknik Elektro dan suka menulis, jadi cukup cocok dengan profesi ini.
Aku tidak memandang suatu pekerjaan dari nominal pendapatan. Melainkan seberapa besar manfaat yang bisa aku berikan.
"Menulis untuk keabadian. Sekaligus wadah untuk menuangkan inspirasi dan gagasan".
Aku sadar bukan anak raja, saudagar, juragan, priyayi, atau sultan. Maka dari itu aku menulis. Aku melakukannya dengan cinta. Termasuk mengikuti lomba menulis blog ini.
Tidak berhenti itu saja, aku juga terus mengembangkan potensi yang ada. Di tahun-tahun berikutnya aku memberanikan diri untuk belajar desain. Meski dengan gear seadanya yaitu sebuah ponsel pintar hadiah dari emak. Aku gunakan untuk membuat konten-konten di Instagram.
Misiku sederhana, menyebarkan manfaat sebanyak mungkin untuk orang-orang.
Aku lakukan itu sepanjang menjadi mahasiswa baru hingga menjadi mahasiswa akhir sekarang. Pendapatan dari internet bisa mencapai 700 ribu per bulan. Alhamdulillah bisa untuk uang jajan dan nyicil bayar kuliah.
Selain itu, hal yang paling membanggakan dari memanfaatkan internet secara positif adalah ketika aku bisa menjuarai kontes-kontes mahasiswa.
Salah satunya adalah Juara II Lomba Vlog - Halal Art Competition yang diselenggarakan oleh Imapela Bogor.
Oh iya, profesiku sebagai Content Creator ini tidak mengganggu jadwal kuliah. Jadi, aku tetap bisa belajar di kampus.
Bahkan, aku bisa mengerjakan konten di sela-sela jam istirahat kuliah, di jalan, hingga di rumah sambil rebahan. Karena pengerjaannya cuma pakai HP dan mengandalkan jaringan internet untuk riset materi dan pengumpulan bahan.
Proses distribusi konten juga via Google Drive. Dengan kata lain, bisa dilakukan secara remote, tanpa harus meninggalkan rumah untuk berangkat ke kantor (perusahaan).
Jadinya, bisa melakukan Aktivitas Tanpa Batas.
***
Berbicara tentang profesi yang bergelut dengan dunia internet. Sinyal merupakan elemen paling fundamental dalam menunjang transmisi data jaringan internet.
Di tempatku, sinyal yang paling bagus adalah Dari Telkomsel. Jaringannya tidak diragukan lagi, cepat dan luas. Aku sudah menggunakannya selama bertahun-tahun.
Kalau mau menggunakan Internet Rumah, pilihan yang paling bagus adalah IndiHome. Brand ini sudah terkenal di mana-mana dan juga sudah memiliki nama yang kredibel.
Pilihan paket yang tersedia juga beragam dan harganya sangat terjangkau.
Bagiku, IndiHome adalah Internetnya Indonesia.
Tulisan ini diikutsertakan dalam IndiHome Blog Competition yang diselenggarakan oleh IndiHome x Kompasiana.
Aku bersyukur hidup di zaman sekarang (era internet), kesempatan untuk berbuat baik dan menebar kebermanfaatan terbuka begitu lebar.
Kalau ditanya, "Apakah aku menyukai pekerjaan ini?"
Maka akan kujawab, "Bukan hanya suka, tapi juga cinta dan bangga dengan profesi sebagai Content Creator (Freelancer)."
***
"Waaaahh, menarik sekali mas pemaparannya. Sangat mencerahkan. Saya sangat berterima kasih mas."
Guratan senyum merekah lebar dari bibir Bintang. Seperti habis mendapatkan ilham.
"Lalu mas, saya kan Anak Informatika. Kira-kira profesi pada bidang digital yang cocok apa ya?". Bintang kembali bertanya.
Banyak.
Ini tidak terbatas oleh jurusan atau level akademis tertentu. Bahkan mereka yang tidak berkuliah pun bisa memperoleh kesempatan yang sama asal mau belajar dan berusaha.
Beberapa di antaranya adalah :
- Reseller
- Online Marketer
- Dropshipper
- IT Consultant
- Programmer
- Designer
- Editor
- etc.
Kita tinggal explore apa yang kita suka. Meluruskan niat, bukan hanya untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Tetapi untuk menebar manfaat yang sebanyak-banyaknya.
Akhir kata, semoga tulisan sederhana dari pengalaman pribadi ini bisa menginspirasi bagi siapa saja yang membaca. Menjadikan kita semakin peka untuk menangkap peluang dan memanfaatkannya dengan cara yang bijaksana.
Jangan lupa, segala pencapaian yang kita dapat itu karena atas izin dan kehendak Yang Maha Kuasa. Tugas kita hanya berusaha dan selalu berdo'a.
"Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling banyak memberikan manfaat kepada sesama."
HR. al-Tabrani
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam IndiHome Blog Competition yang diselenggarakan oleh IndiHome x Kompasiana.
Infografis yang dibuat adalah hasil racikan sendiri dari penulis.
Referensi : IndiHome.co.id | WikiPedia.org